Kegiatan ritual dalam Islam, jika dikaji secara saksama

Setiap menjelang jatuhnya awal puasa, idul fitri,  dan idul adha,  para ahli rukyat dan ahli hisab  sibuk menunaikan tugasnya,  kapan kewajiban mencegah makan,  munim dan berhubungan suami isteri itu dimulai. Begitu pula menjalang akhir bulan Ramadhan, kapan shalat idhul fitri harus dilaksanakan. Para ahli hisab dan rukyat dikerahkan. Mereka yang yakin  dengan metode hisab dalam menentukan awal bulan,  ditugasi  berdiskusi untuk menentukan hari yang tepat sesuai dengan hitungan. Demikian pula,  ahli rukyat, kalau perlu, ditugasi menyiapkan alat-alat mutakhir untuk melihat bulan  di sebelah  barat sana. 
Dulu dibayangkan,   andaikan para ahli hitung menghitung sudah semakin canggih, dan demikian pula,  peralatan melihat bulan  sudah semakin modern, maka  tidak akan ada lagi perbedaan awal puasa dan hari raya,  hingga menjadikan rakyat kecil  kebingungan. Tetapi nyatanya tidak demikian, semakin pintar ahli hisab dan juga semakin canggih alat-alat yang digunakan untuk merukyat, ternyata  silang pendapat itu masih saja terjadi.
Persoalannya ternyata bukan saja terletak pada kecanggihan alat atau rumus-rumus  untuk menghitung, tetapi  ada faktor lain, yaitu menyangkut ukuran yang harus disepakati. Berapa derajat bulan sudah bisa dilihat atau belum masih menjadi perdebatan. Rupanya ukuran itu yang tidak mudah disepakati. Perbedaan itu bukan saja  bersumber pada rumus dan alat-alat rukyat yang digunakan,  melainkan juga pada orang yang memahami konsep-konsep tentang hilal dan seterusnya itu.
Bukan bermaksud  menggoda ahlul hisab dan ahlul rukyat, mungkin pertanyaan nakal yang perlu dikemukakan adalah,  apakah memang untuk melakukan  ritual itu harus sedemikian sulit seperti itu. Apakah harus ada difinisi yang sedemikian ketat, hingga sekedar untuk memulai puasa di bulan Ramadhan dan juga berhari raya terasa amat sulit seperti itu.  Bukannya mau disebut  sembrono, tetapi  bukankah  Tuhan sebenarnya  tidak menghendaki sesuatu yang  mudah  lalu  dibuat menjadi berlebih-lebihan hingga melahirkan kesulitan dan   kebingungan banyak orang.
Bukankah pada zaman Nabi dulu,  ketika ada seseorang yang mengaku telah melihat bulan, lalu  disumpah untuk mengetahui, apakah  kabar beritanya itu betul dan bisa dipercaya. Manakala sumpah itu telah dilakukan, maka pengakuannya itu dipercaya, lalu puasa atau hari raya dijalankan. Pada zamkan itu,  sumpah digunakan untuk mengetahui integritas seseorang. Sudah barang tentu, orang dimaksud juga bukan sembarangan. Seseorang yang suka berbohong, tentu tidak akan dipercaya.  Memang,  pada setiap zaman, selalu ada saja orang yang bisa dipercaya dan yang tidak.
Membaca riwayat penentuan awal  bulan pada zaman Rasulullah, terasa tidak sesulit sekarang ini. Melihat prosedur dan bahkan perdebatan yang dilakukan oleh para ahli,  dan bahkan hingga ada yang tidak mau lagi mendatangi isbat,   terasa bahwa sekedar menentukan jatuhnya awal bulan  terasa amat sulit. Manakala hal itu dilakukan  atas dasar demi kehati-hatian, adalah sangat baik. Melakukan ibadah sebagai pemenuhan perintah Tuhan harus  berhati-hati dan tidak sembrono.  
Akan tetapi, manakala proses itu  terlalu rumit,  dan apalagi  bermuatan menang dan kalah, maka mestinya dihindari. Jika demikian itu yang terjadi, maka yang muncul adalah kekecewaan. Padahal mengecewakan pihak lain sebenarnya juga seharusnya selalu dihindari, apalagi di bulan yang seharusnya saling menghargai dan menggembirakan. Dalam ber-Islam, kiranya tidak saja kepentingan Tuhan yang seharusnya dikedepankan, tetapi kepentingan manusiapun harus dipertimbangan.
Kegiatan ritual dalam Islam,  jika dikaji secara saksama, sebenarnya dilakukan untuk kepentingan manusia sendiri. Misalnya, berpuasa adalah agar  orang yang menjalankannya menjadi bertaqwa. Terlalu,  berhati-hati  dalam menjalankan ritual,  mungkin berhasil menjadi dekat pada  Tuhan,  tetapi beresiko bisa mejauhkan  antar  sesama. Tentu, mestinya tidak boleh begitu. Wallahu a’lam